KONFLIK LAHAN PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN BANDARA INTERNASIONAL DI KULON PROGO
Abstract
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fenomena alih fungsi lahan yang terjadi akibat
adanya kebijakan pembangunan bandara baru di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo.
Setidaknya ada lima desa terdampak dari pembangunan bandara ini, yang menyebabkan
lahan pertanian di masing-masing desa tersebut beralih fungsi menjadi bandara baru. Selain
tujuan dari penelitian yang disebutkan tadi, peneliti bermaksud mengkaji masalah sosial yang
muncul berupa konflik sosial di dalam masyarakat sebagai dampak dari pembangunan
bandara. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Adapun teknik
pengambilan sampel dengan menggunakan tekhnik purposive sampling. Adapun sumber data
yang diperoleh oleh peneliti dari beberapa narasumber yaitu; masyarakat terdampak baik itu
pro atau kontra bandara, pemerintah daerah Kulon Progo, BPN, dan dari pihak Angkasa Pura
I selaku pemrakarsa bandara baru. Selain itu peneliti juga menggunakan data sekunder berupa
dokumentasi dari pihak terkait, dan dari media cetak seperti koran dan jurnal. Dalam validitas
data yang digunakan oleh peneliti adalah menggunakan trianggulasi sumber data dan tekhnik
analisis data menggunakan model analisis data Miles dan Huberman. Hasil dari penelitian ini
menunjukan bahwa fenomena alih fungsi lahan yang terjadi di Kecamatan Temon, Kabupaten
Kulon Progo akibat dari kebijakan pembangunan bandara baru menimbulkan beberapa
dampak sosial. Adapun dampak tersebut yaitu bergesernya lahan pertanian menjadi bandara,
hilangnya lahan pertanian sebagai sumber mata pencaharian masyarakat sekitar, munculnya
sikap pro dan kontra di masyarakat, dan munculnya konflik sosial. Adapun konflik sosial
tersebut antara masyarakat yang pro dengan masyarakat kontra
(konflik horizontal
), dan
masyarakat kontra dengan pemerintah daerah Kulon Progo
(konflik vertikal
). Masyarakat
yang kontra tergabung dalam kelompok Wahana Tri Tunggal. Sikap masyarakat yang
menolak karena mereka takut akan kehilangan lahan pertanian yang selama ini menjadi
sumber utama mata pencaharian mereka, baik sebagai petani
(pemilik lahan) ataupun buruh
tani
(penggarap). Sementara itu masyarakat yang pro bandara mereka sebagian besar
merupakan pemilik lahan sekaligus penggarap. Mereka yang pro bandara mengajukan
beberapa persyaratan di antaranya; ganti rugi lahan mereka dan kompensasi lahan PAG,
masalah ketenagakerjaan, dan relokasi gratis.
adanya kebijakan pembangunan bandara baru di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo.
Setidaknya ada lima desa terdampak dari pembangunan bandara ini, yang menyebabkan
lahan pertanian di masing-masing desa tersebut beralih fungsi menjadi bandara baru. Selain
tujuan dari penelitian yang disebutkan tadi, peneliti bermaksud mengkaji masalah sosial yang
muncul berupa konflik sosial di dalam masyarakat sebagai dampak dari pembangunan
bandara. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Adapun teknik
pengambilan sampel dengan menggunakan tekhnik purposive sampling. Adapun sumber data
yang diperoleh oleh peneliti dari beberapa narasumber yaitu; masyarakat terdampak baik itu
pro atau kontra bandara, pemerintah daerah Kulon Progo, BPN, dan dari pihak Angkasa Pura
I selaku pemrakarsa bandara baru. Selain itu peneliti juga menggunakan data sekunder berupa
dokumentasi dari pihak terkait, dan dari media cetak seperti koran dan jurnal. Dalam validitas
data yang digunakan oleh peneliti adalah menggunakan trianggulasi sumber data dan tekhnik
analisis data menggunakan model analisis data Miles dan Huberman. Hasil dari penelitian ini
menunjukan bahwa fenomena alih fungsi lahan yang terjadi di Kecamatan Temon, Kabupaten
Kulon Progo akibat dari kebijakan pembangunan bandara baru menimbulkan beberapa
dampak sosial. Adapun dampak tersebut yaitu bergesernya lahan pertanian menjadi bandara,
hilangnya lahan pertanian sebagai sumber mata pencaharian masyarakat sekitar, munculnya
sikap pro dan kontra di masyarakat, dan munculnya konflik sosial. Adapun konflik sosial
tersebut antara masyarakat yang pro dengan masyarakat kontra
(konflik horizontal
), dan
masyarakat kontra dengan pemerintah daerah Kulon Progo
(konflik vertikal
). Masyarakat
yang kontra tergabung dalam kelompok Wahana Tri Tunggal. Sikap masyarakat yang
menolak karena mereka takut akan kehilangan lahan pertanian yang selama ini menjadi
sumber utama mata pencaharian mereka, baik sebagai petani
(pemilik lahan) ataupun buruh
tani
(penggarap). Sementara itu masyarakat yang pro bandara mereka sebagian besar
merupakan pemilik lahan sekaligus penggarap. Mereka yang pro bandara mengajukan
beberapa persyaratan di antaranya; ganti rugi lahan mereka dan kompensasi lahan PAG,
masalah ketenagakerjaan, dan relokasi gratis.
DOI: https://doi.org/10.21831/e-societas.v6i1.8893
Refbacks
- There are currently no refbacks.
eISSN: 2827-9417