PENARIKAN PAJAK BUMI DI ADIKARTO TAHUN 1940-1949

Rani Septiani

Abstract



 Pajak bumi telah dikenal sejak masa kerajaan dengan istilah upeti. Sebagai wilayah pertanian
yang subur,  Adikarto menjadi tumpuan pendapatan Kerajaan Pakualaman dengan hasil penarikan
pajak buminya. Perubahan proses penarikan pajak bumi terjadi pasca adanya reorganisasi agraria di
wilayah Vorstenlanden Yogyakarta dan Pakualaman sekitar tahun 1917-1925. Peran bekel digantikan
oleh petugas penarik pajak dan berlaku hingga pasca kemerdekaan.  Hal ini menjadi perhatian ketika
kebijakan penarikan pajak berada di tangan Pakualaman, namun kedudukan pemerintah pusat yang
berganti-ganti selama 1940-1949 beserta kebijakannya turut andil memengaruhi proses pelaksanaan
penarikan pajak bumi di Adikarto.Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui proses penarikan
pajak bumi dan dampaknya di Adikarto selama kurun waktu 1940-1949. Penelitian ini menggunakan
metode penelitian sejarah kritis.  Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama tahun1940-1949
peraturan pajak bumi yang berlaku sebagai pedoman penarikan mengalami pergantian dari Rijksblad
Pakualaman Tahun 1919 No.15 ke Pakualaman Koo Rei Tahun 1945 No.4. Penentuan tarif pajak bumi
dilakukan dengan rangkaian proses klasiran hingga pembuatan kartu pajak per kepala keluarga.
Penarikan pajak dilakukan oleh petugas penarik pajak di bawah pengawasan kepala desa. Selama
1940-1949 tarif pajak di beberapa kelurahan terpaksa dikurangi karena banyak terjadi krisis yang
menyangkut hasil panenan. Munculnya kebijakan wajib serah padi pada masa Jepang memunculkan
dualisme penarikan yang akhirnya menambah sengsara para petani. Pasca kemerdekaan, eksistensi
pajak bumi mulai menurun karena rendahnya tarif pajak. Selain menggambarkan dampaknya kepada
rakyat, hasil penarikan pajak bumi juga dialokasikan meski hanya dalam keadaan mendesak untuk
membangunan infrastruktur seperti saluran irigasi.

Full Text:

PDF

Refbacks

  • There are currently no refbacks.