PERMUKIMAN TIONGHOA DI SURAKARTA PADA TAHUN 1900-1940
Abstract
Orang Tionghoa datang ke Indonesia melalui beberapa tahap migrasi,
pertama kali diawali oleh Fa Hien (seorang pendeta Budha yang berlayar menuju
Sri Lanka dan terdampar di Pulau Jawa). Migrasi terbesar adalah pada masa
penjajahan Belanda, etnis Tionghoa banyak didatangkan ke Indonesia sebagai
buruh perkebunan. Imigran Tionghoa yang datang ke Indonesia terdiri dari berbagai
suku bangsa yaitu Hokkian, Hakka, Theo Chiu, dan Kanton. Tujuan penulisan ini
adalah untuk mengetahui latar belakang keberadaan orang-orang Tionghoa di
Surakarta, mengetahui perkembangan permukiman orang-orang Tionghoa di
Surakarta serta mengetahui aktivitas orang-orang Tionghoa yang berpengaruh
pada lingkungan sosial ekonominya.
Penulisan skripsi ini menggunakan metode sejarah kritis. Metode yang
digunakan terdiri dari beberapa langkah. Pertama, heuristik yang merupakan suatu
kegiatan mencari sumber-sumber sejarah untuk mendapatkan data yang relevan.
Kedua, kritik yaitu kegiatan untuk mengkaji otentitas dan kredibilitas sumber-
sumber sejarah. Ketiga, interpretasi merupakan proses penafsiran terhadap fakta-
fakta sejarah serta mencari hal-hal yang saling berhubungan antara fakta yang satu
dengan yang lainnya, sehingga menjadi sebuah rangkaian fakta yang bermakna
dan logis. Keempat, historiografi merupakan proses penyampaian hasil
interpretasi secara kronologis dan sistematis dalam bentuk karya ilmiah.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa keberadaan
orang-orang Tionghoa di Surakarta berawal dari konflik internal keraton, orang-
orang Tionghoa melakukan pemberontakan kepada Paku Buwono II dan VOC yang
dipimpin oleh Raden Mas Garendi. Pemberontakan itu menyebabkan peristiwa
geger pecinan 1742. Setelah geger pecinan berakhir, orang-orang Tionghoa
diijinkan tinggal di sebelah utara Sungai Pepe sekitar Pasar Gede ke timur di
Ketandan hingga Limalasan, ke sebelah utara sampai Balong, ke utara lagi sampai
Warungpelem. Pemerintah kolonial lebih menertibkan orang-orang Tionghoa
terutama dalam hal permukiman dan juga menunjuk para pejabat Tionghoa dari
kalangan mereka sendiri yang diberi pangkat Major, Kapitein, Luitenant, dan
Wijk Meester. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan wijkenstelsel
dan passenstelsel untuk mengawasi aktivitas sosial ekonomi orang- orang
Tionghoa. Setelah wijkenstelsel dan passenstelsel dihapuskan aktivitas sosial
ekonomi orang Tionghoa di Surakarta semakin kompleks serta interaksi dengan
orang Jawa juga semakin erat. Namun, hubungan itu mengalami ketegangan yang
diawali oleh industri batik yang menyebabkan persaingan antara Kong Sing
Tionghoa dengan Rekso Roemekso Jawa.
Kata kunci: Permukiman, Surakarta, Tionghoa.
pertama kali diawali oleh Fa Hien (seorang pendeta Budha yang berlayar menuju
Sri Lanka dan terdampar di Pulau Jawa). Migrasi terbesar adalah pada masa
penjajahan Belanda, etnis Tionghoa banyak didatangkan ke Indonesia sebagai
buruh perkebunan. Imigran Tionghoa yang datang ke Indonesia terdiri dari berbagai
suku bangsa yaitu Hokkian, Hakka, Theo Chiu, dan Kanton. Tujuan penulisan ini
adalah untuk mengetahui latar belakang keberadaan orang-orang Tionghoa di
Surakarta, mengetahui perkembangan permukiman orang-orang Tionghoa di
Surakarta serta mengetahui aktivitas orang-orang Tionghoa yang berpengaruh
pada lingkungan sosial ekonominya.
Penulisan skripsi ini menggunakan metode sejarah kritis. Metode yang
digunakan terdiri dari beberapa langkah. Pertama, heuristik yang merupakan suatu
kegiatan mencari sumber-sumber sejarah untuk mendapatkan data yang relevan.
Kedua, kritik yaitu kegiatan untuk mengkaji otentitas dan kredibilitas sumber-
sumber sejarah. Ketiga, interpretasi merupakan proses penafsiran terhadap fakta-
fakta sejarah serta mencari hal-hal yang saling berhubungan antara fakta yang satu
dengan yang lainnya, sehingga menjadi sebuah rangkaian fakta yang bermakna
dan logis. Keempat, historiografi merupakan proses penyampaian hasil
interpretasi secara kronologis dan sistematis dalam bentuk karya ilmiah.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa keberadaan
orang-orang Tionghoa di Surakarta berawal dari konflik internal keraton, orang-
orang Tionghoa melakukan pemberontakan kepada Paku Buwono II dan VOC yang
dipimpin oleh Raden Mas Garendi. Pemberontakan itu menyebabkan peristiwa
geger pecinan 1742. Setelah geger pecinan berakhir, orang-orang Tionghoa
diijinkan tinggal di sebelah utara Sungai Pepe sekitar Pasar Gede ke timur di
Ketandan hingga Limalasan, ke sebelah utara sampai Balong, ke utara lagi sampai
Warungpelem. Pemerintah kolonial lebih menertibkan orang-orang Tionghoa
terutama dalam hal permukiman dan juga menunjuk para pejabat Tionghoa dari
kalangan mereka sendiri yang diberi pangkat Major, Kapitein, Luitenant, dan
Wijk Meester. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan wijkenstelsel
dan passenstelsel untuk mengawasi aktivitas sosial ekonomi orang- orang
Tionghoa. Setelah wijkenstelsel dan passenstelsel dihapuskan aktivitas sosial
ekonomi orang Tionghoa di Surakarta semakin kompleks serta interaksi dengan
orang Jawa juga semakin erat. Namun, hubungan itu mengalami ketegangan yang
diawali oleh industri batik yang menyebabkan persaingan antara Kong Sing
Tionghoa dengan Rekso Roemekso Jawa.
Kata kunci: Permukiman, Surakarta, Tionghoa.
Full Text:
PDFRefbacks
- There are currently no refbacks.