PERANAN SENIMAN LUKIS MASA ORDE LAMA DI YOGYAKARTA
Abstract
ABSTRAK
Perpindahan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta sekaligus diikuti juga seniman-seniman lukis yang merasa tidak aman berada di Jakarta. Di Yogyakarta seniman-seniman lukis membentuk berbagai sanggar untuk mengembangkan aktivitasnya. Tujuan yang paling utama yaitu untuk ikut berperan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan karya-karnyanya. Dukungan juga diberikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX bagi seniman lukis dengan meminjamkan rumah Pakapalan di alun-alun utara untuk studio dan segala aktivitasnya. Peran seniman lukis dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia tidak sia-sia hingga pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia setelah Konferensi Meja Bundar. Tujuan tulisan ini untuk mengetahui peran seniman lukis di Yogyakarta masa Orde Lama pada tahun 1950-1965.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran seniman lukis di Yogyakarta masa Orde Lama dapat berkembang dari segi gaya lukisnya. Berawal dari berdirinya Akademi Seni Rupa Indonesia memberikan pengajaran yang baru. Namun, seiring dengan berkembangnya gaya seni lukis di Yogyakarta tidak semua gaya seni lukis dapat diterima oleh masyarakat, khususnya partai politik. Gaya seni lukis abstrak yang berkembang di Yogyakarta ditentang oleh pemerintah karena dianggap gaya seni lukis barat. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) milik PKI yang memberhentikan perkembang gaya seni lukis abstrak dan menuntut seni lukis harus bergaya realisme sosialis. Seniman lukis yang tidak suka jika karya seni lukis dibatasi, membentuk lembaga tandingan yaitu Manifes Kebudayaan. Perseteruan kedua kelompok tersebut tidak bisa dihindarkan hingga pengganyangan Manifes Kebudayaan atas usulan Presiden Soekarno yang tidak lama disusul pengganyangan kelompok Lekra dengan meletusnya Gerakan 30 September 1965 oleh rezim Orde Baru.
Refbacks
- There are currently no refbacks.